Hari Pendidikan Nasional seharusnya menjadi saat yang penuh harapan—mengenang perjuangan Ki Hajar Dewantara, dan menatap masa depan pendidikan Indonesia. Tapi di balik perayaan 2 Mei, muncul satu keputusan kontroversial dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang membuat banyak orang tua siswa garuk kepala: rencana mengirim 30 guru ke Australia untuk pelatihan “deep learning”.
Menteri Abdul Mu’ti dalam konferensi persnya menjelaskan bahwa dua batch guru pilihan, masing-masing 15 orang, akan dikirim ke Australia selama seminggu penuh. Mereka akan mendalami pendekatan deep learning—sebuah metode pembelajaran mendalam yang diklaim mampu meningkatkan pemahaman siswa secara menyeluruh, bukan sekadar hafalan.
Tapi muncul pertanyaan besar: kenapa Australia? Dan kenapa harus ke sana, bukan mendatangkan pelatih ke sini? Di tengah keterbatasan anggaran dan kesenjangan mutu pendidikan di banyak daerah, langkah ini terasa seperti mengobati demam dengan AC.
Pengiriman guru ke luar negeri bukanlah hal murah. Tiket pesawat, akomodasi, konsumsi, dan biaya pelatihan selama satu minggu jelas menyedot dana yang tak sedikit. Jika 30 guru dikirim, bisa dibayangkan besarnya dana yang dihabiskan hanya untuk satu minggu pelatihan.
Apakah ini prioritas yang tepat? Di tengah sekolah-sekolah di pelosok masih kesulitan akses internet, guru honorer berpenghasilan rendah, dan digitalisasi yang mandek, keputusan ini memunculkan kekhawatiran soal efektivitas penggunaan dana pendidikan.
Padahal, dengan biaya serupa, Kemendikdasmen bisa saja mengundang pakar deep learning dari Australia ke Indonesia untuk melatih ratusan guru sekaligus secara terpusat. Atau bahkan, menggandeng universitas dalam negeri dan komunitas edukasi teknologi untuk merancang pelatihan berbasis software sekolah 4.0 dan manajemen sekolah digital.
Indonesia sedang berproses menuju transformasi digital di dunia pendidikan. Tapi sayangnya, langkah konkret untuk memperkuat sistem administrasi sekolah online dan sistem informasi sekolah belum maksimal. Padahal, pendekatan ini bisa jadi kunci menyebarluaskan pelatihan deep learning secara efisien dan murah.
Bayangkan jika pelatihan dilakukan secara daring, terintegrasi dalam sistem informasi yang telah ada, dengan dukungan konten berbasis AI atau video interaktif. Guru di Papua dan Aceh bisa belajar dari materi yang sama, tanpa perlu menempuh ribuan kilometer.
Hari Pendidikan Nasional bukan hanya soal upacara. Ini momen untuk mengevaluasi: apakah kebijakan yang diambil benar-benar berdampak pada kualitas pendidikan akar rumput? Ataukah hanya tampak keren di permukaan, tapi tak menyentuh kebutuhan nyata di sekolah-sekolah?
Sebagai orang tua murid, kita berhak bertanya dan kritis. Pendidikan anak-anak kita adalah investasi masa depan bangsa. Maka, pengelolaan anggaran dan strategi transformasi digital harus diawasi bersama—agar benar-benar mengarah pada peningkatan mutu, bukan hanya jalan-jalan akademis ke luar negeri.