Yogyakarta – Ada satu ironi yang tak bisa diabaikan dalam dunia pendidikan kita hari ini: ketika teknologi berkembang untuk mendekatkan, banyak sekolah justru merasa terancam dan memilih bertahan pada cara lama. Padahal, jika dikelola dengan bijak, digitalisasi bukan ancaman, tapi justru jalan menuju pendidikan yang lebih manusiawi.
Hari ini, kepala dinas dan yayasan pendidikan dihadapkan pada kenyataan yang tak bisa ditolak: perubahan terus terjadi. Tantangan baru muncul: dari tuntutan sekolah gratis, kebutuhan akuntabilitas publik, hingga ekspektasi orang tua terhadap sekolah yang transparan, responsif, dan profesional.
Sayangnya, sebagian besar lembaga pendidikan masih menanggapi digitalisasi sebagai beban. Padahal yang terancam bukan manusia, tapi sistem lama yang tak lagi efektif.
Dengan menggunakan sistem informasi sekolah yang terstruktur dan tepat guna, guru tak lagi disibukkan oleh tugas-tugas administratif yang menguras waktu. Justru teknologi ini menjadi alat bantu untuk mengembalikan fokus guru ke hal paling penting: interaksi manusiawi dengan peserta didik.
Lewat administrasi sekolah online, guru bisa mengakses data siswa dengan cepat, menyusun laporan akademik lebih efisien, dan menyesuaikan pendekatan pembelajaran sesuai kebutuhan anak. Di sisi lain, orang tua juga bisa berpartisipasi lebih aktif lewat kanal digital yang terbuka dan akuntabel.
Saat sekolah menolak teknologi, tanpa disadari mereka justru menolak peluang untuk menjadi lebih manusiawi. Ketika guru tenggelam dalam tumpukan kertas, kapan mereka bisa benar-benar mendengarkan murid? Ketika laporan keuangan masih manual dan tidak terbuka, bagaimana bisa membangun kepercayaan?
Teknologi melalui manajemen sekolah digital hadir bukan untuk mengganti manusia, tapi membantu manusia menjadi lebih hadir. Guru bisa mengajar dengan hati, bukan terbebani oleh sistem. Kepala sekolah bisa memimpin dengan data, bukan hanya firasat. Orang tua bisa memahami proses, bukan sekadar hasil.
Banyak yayasan dan dinas ragu mengadopsi aplikasi sekolah terintegrasi karena menganggapnya sebagai pengeluaran. Tapi mari balik pertanyaannya: berapa besar biaya tersembunyi dari kesalahan input data, lambatnya pelaporan BOS, atau hilangnya kepercayaan publik karena kurangnya transparansi?
Implementasi software sekolah 4.0 bukan sekadar modernisasi, melainkan langkah strategis untuk membangun ekosistem pendidikan yang sehat, transparan, dan manusiawi.
Pendidikan tidak boleh tertinggal dari semangat zaman. Jika hari ini sekolah belum siap secara digital, berarti bukan hanya mereka kehilangan efisiensi—tapi juga kehilangan kedekatan yang sesungguhnya dengan murid, guru, dan komunitas sekolah.
Digitalisasi bukan berarti semua harus serba daring. Tapi artinya sekolah harus mulai membangun sistem yang terintegrasi, transparan, dan mendukung aktivitas harian secara berkelanjutan. Karena transformasi yang sejati tidak terjadi lewat proyek jangka pendek, melainkan lewat perubahan budaya yang konsisten.
Pendidikan sejatinya adalah proses menjadi manusia seutuhnya. Maka ketika teknologi digunakan secara tepat, ia justru akan memanusiakan sekolah. Guru kembali mengajar dengan cinta. Kepala sekolah memimpin dengan arah. Orang tua merasa dipercaya.
Dan semua itu hanya mungkin terjadi bila kita berani membuka diri terhadap transformasi digital. Bukan sebagai proyek, tapi sebagai budaya baru dalam mendidik generasi masa depan.
Sudah saatnya sekolah-sekolah berdiri tegak dan berkata: “Kami siap menjadi sekolah yang manusiawi lewat teknologi.”