Bayangkan bila sekolah Anda berada dalam situasi genting—kegiatan belajar mengajar harus jalan, tetapi dana BOS tak kunjung cair. Gaji tertunda, kebutuhan operasional terbengkalai, dan guru mulai gelisah. Apakah sekolah harus berhenti bergerak? Tidak. Justru di sinilah kualitas kepemimpinan diuji.
Sebagai konsultan pendidikan selama 25 tahun, saya berani menyampaikan satu hal: sekolah tidak boleh bergantung sepenuhnya pada dana pemerintah. Bukan karena BOS tak penting, tapi karena dunia berubah lebih cepat dari ritme birokrasi.
Selama saya mendampingi sekolah dari Sabang sampai Merauke, pola ini berulang terus: saat BOS terlambat, sekolah stagnan. Sementara itu, yang saya sebut sebagai School CEO mindset sudah lebih dulu berpikir ke depan. Mereka bertanya: “Kalau BOS belum turun, apa yang bisa kita hasilkan dari dalam sekolah sendiri?”
Inilah titik awal munculnya resource innovation—gagasan bahwa sekolah bisa menciptakan sumber daya sendiri. Bukan utopia. Ini kenyataan bagi sekolah-sekolah yang berani berubah.
Saya ingin mempertegas: digitalisasi bukan beban, tapi investasi. Apalagi bila sekolah sudah menggunakan aplikasi sekolah terintegrasi seperti yang dikembangkan di platform SISKO-Online.com. Bukan sekadar alat input nilai, aplikasi semacam ini bisa menjadi “mesin aset digital”.
Bagaimana bisa? Bayangkan ada iklan produk lokal di dashboard orang tua. Bayangkan sekolah membuka ruang kerja sama konten edukatif. Bayangkan data digital sekolah diolah dan dikemas untuk mendukung proposal CSR. Semua itu bisa dimonetisasi.
Dan ya, monetisasi ini bukan “komersialisasi pendidikan”—ini strategi keberlanjutan sekolah.
Selain aplikasi, sekolah bisa:
Selama semua transparan dan dikelola sesuai etika publik, ini adalah bentuk kemajuan.
Saya tahu banyak kepala sekolah yang luar biasa secara moral, tetapi masih terjebak pada pola “menunggu arahan”. Padahal, di era pendidikan saat ini, kita tidak lagi bicara soal compliance, tetapi soal kecerdikan dalam bertahan dan bertumbuh.
Dengan manajemen sekolah digital, kepala sekolah bisa menganalisis kekuatan internal, mengidentifikasi peluang eksternal, dan menyusun strategi finansial mandiri—dengan tetap menjaga nilai-nilai pendidikan.
Sekolah yang berani membangun aset digital secara konsisten bisa perlahan mengurangi ketergantungan pada dana pemerintah. Bahkan, konsep sekolah gratis berkualitas bukan lagi sekadar jargon, tapi realita yang bisa diwujudkan lewat kolaborasi teknologi dan keberanian kepemimpinan.
Saat sekolah punya sistem informasi sekolah yang kuat dan administrasi sekolah online yang transparan, publik pun semakin percaya untuk mendukung secara moral maupun material.
Saya percaya, keterlambatan BOS bukan akhir dunia, tapi mungkin justru sinyal: Sudah waktunya kita berubah.
💡 Sudahkah sekolah Anda membangun aset digitalnya?
Sudahkah kepala sekolahnya punya keberanian untuk berpikir layaknya CEO?
Jika belum, mari mulai dari sekarang. Kami di SISKO-Online.com percaya, masa depan pendidikan ditentukan bukan oleh berapa besar bantuan yang diterima, tapi seberapa cerdas sekolah mengelola sumber dayanya sendiri.
Salam Pendidikan,
Gloria Sarasvati Anindya,
konsultan pendidikan di divisi Kamadeva Coaching Academy