Yogyakarta, DIY – Pak Samsul, kepala sekolah di sebuah SMP pinggiran, dulu merasa lega saat mendengar kabar: sekolahnya masuk program sekolah gratis dari pemerintah. “Akhirnya bisa fokus ke akademik,” batinnya saat itu.
Tapi rasa lega itu tak bertahan lama. Setelah dapat penjelasan sumber dana yang tidak mencukupi buat operasional sekolahnya. Seperti bayar listrik, biaya kebersihan dan bahkan gaji guru honorer yang bisa jadi tidak ter-cover. Program ekstrakurikuler terancam dibekukan. “Gratis” ternyata bukan berarti tanpa tantangan.
Dan Pak Samsul bukan satu-satunya. Di banyak daerah, kepala sekolah kini berada di persimpangan: terus berharap bantuan pemerintah atau mulai bergerak mencari cara baru.
Saat banyak kepala sekolah bertanya-tanya tentang masa depan sekolah mereka, muncullah sebuah suara jernih dari tengah kota Yogyakarta. Adalah Pak Sonny, CEO PT. Kamadeva Inovasi Global, yang mengangkat pentingnya perubahan paradigma kepemimpinan sekolah.
“Kepala sekolah hari ini bukan cuma manajer kurikulum. Mereka harus jadi edupreneur—pemimpin yang memadukan visi pendidikan dengan kemandirian pengelolaan. Bukan untuk mencari untung, tapi agar sekolah tetap hidup bermartabat,” ujar Pak Sonny.
Menurutnya, tantangan sekolah gratis bisa dihadapi jika kepala sekolah berani memanfaatkan teknologi sebagai mitra, bukan ancaman. Banyak solusi telah tersedia, tinggal keberanian untuk berubah.
Pak Sonny menjelaskan bahwa banyak sekolah terjebak pada pola pikir lama. Mereka mengeluh anggaran minim, tapi tidak pernah melakukan digitalisasi pengelolaan sekolah.
“Coba bayangkan kalau sekolah memakai Sistem Informasi Sekolah. Semua data siswa, keuangan, dan kegiatan terpantau rapi. Gak ada lagi pemborosan karena semua transparan dan akuntabel.”
Tak hanya itu, sekolah juga bisa memakai Manajemen Sekolah Digital untuk merancang program kerja berbasis data. Sementara Aplikasi Sekolah Terintegrasi mempermudah komunikasi dengan wali murid, pengawasan guru, dan pelaporan ke yayasan maupun dinas.
Lalu untuk urusan administrasi? Pakai saja Administrasi Sekolah Online dan Software Sekolah 4.0. Semua urusan jadi cepat, hemat, dan rapi.
“Kalau semua itu sudah terintegrasi, kepala sekolah bisa fokus jadi pemimpin perubahan. Bukan sekadar penjaga operasional,” tegas Pak Sonny.
Pak Samsul tadi akhirnya memutuskan untuk berubah. Ia mengajak tim guru mengikuti pelatihan digital bersama Kamadeva. Perlahan sekolahnya mulai memakai sistem online. Kelak, sekolah itu dikenal sebagai sekolah yang paling transparan dan terbuka terhadap kolaborasi masyarakat.
“Dulu kami sering dimusuhi karena dianggap minta sumbangan terus. Sekarang justru ada alumni yang datang menawarkan bantuan,” kata Pak Samsul.
Pak Sonny menyimpulkan dengan tajam:
“Sekolah gratis bukan berarti kepala sekolah bisa pasif. Justru ini saatnya menjadi pemimpin yang relevan, inovatif, dan tangguh.”
Karena sekolah tak akan bertahan dengan doa dan niat baik saja. Ia butuh pemimpin yang berani berubah, memimpin dengan data, dan memanfaatkan teknologi untuk membangun masa depan.
“Berubah bukan pilihan lagi. Itu keharusan.”