Apa jadinya kalau sekolah tidak bisa lagi menarik iuran, tapi tetap dituntut menghasilkan lulusan unggul? Ini bukan fiksi, tapi kenyataan yang sudah di depan mata. Sekolah gratis bukan hanya tantangan, tapi panggilan untuk transformasi!
Jakarta, 10 Juni 2025 – Setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan larangan pungutan bagi pendidikan dasar dan menengah, banyak kepala sekolah dan ketua yayasan merasa dipukul mundur. “Bagaimana kami bisa bertahan tanpa dana rutin dari orang tua?” keluh seorang kepala sekolah swasta di Jakarta Selatan.
Namun, justru di titik kritis inilah, perubahan paling kuat bisa dimulai.
Alih-alih menunggu dana bantuan atau berharap ada subsidi tambahan dari pemerintah, sudah saatnya sekolah mengambil langkah aktif: membangun kemandirian melalui sistem digital yang terintegrasi. Ini bukan sekadar soal aplikasi, tapi tentang cara baru mengelola sekolah secara menyeluruh dan profesional.
Di tengah tantangan ini, kita bisa menengok ke dunia bisnis yang juga sedang diuji. Potensi merger antara GoTo dan Grab kembali jadi pembicaraan hangat. Dalam laporan Bisnis.com, Bhima Yudhistira—pengamat ekonomi INDEF—menyampaikan keraguannya terhadap manfaat merger tersebut. Ia menyatakan, “Kalau motifnya hanya menyehatkan keuangan GoTo, maka sangat kecil dampaknya bagi konsumen dan pengemudi.”
Komentar itu memberikan pelajaran penting bagi kita: tanpa strategi digitalisasi yang konkret dan menyentuh akar masalah, bahkan penggabungan raksasa pun bisa gagal memberi dampak nyata.
Di era sekolah gratis ini, sekolah swasta tidak boleh hanya jadi penonton. Justru saat ini, kepala sekolah dan yayasan harus bersikap seperti CEO — membangun sistem, mengelola aset, dan menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan.
Salah satu kunci utamanya adalah digitalisasi manajemen sekolah. Menggunakan sistem informasi sekolah, sekolah bisa:
Bahkan lebih jauh, integrasi dengan software sekolah 4.0 membuat proses pengelolaan bisa dilakukan dari mana saja. Bayangkan jika sekolah bisa mengelola administrasi sekolah online tanpa tumpukan kertas dan keributan manual tiap bulan. Waktu yang biasanya habis untuk pekerjaan teknis bisa dialihkan untuk peningkatan mutu belajar dan pendampingan guru.
“Kami ingin sekolah punya DNA mandiri. Karena di masa depan, hanya sekolah yang adaptif dan transparan yang akan bertahan,” ujar Sonny, Direktur Utama PT Kamadeva Inovasi Global.
Era sekolah gratis bisa jadi awal ekosistem baru bagi sekolah swasta. Bukannya kalah saing, tapi justru bangkit dengan inovasi. Kepala sekolah dan yayasan harus melihat transformasi ini sebagai investasi strategis — bukan sekadar adaptasi terpaksa.
Jika perusahaan seperti GoTo dan Grab bisa merancang ulang strategi bisnis di tengah tekanan finansial, mengapa sekolah tidak?
Mulailah dengan aplikasi sekolah terintegrasi yang menyatukan semua proses akademik, keuangan, dan komunikasi dalam satu sistem. Lalu lanjutkan dengan manajemen sekolah digital yang membuka ruang bagi efisiensi dan keterbukaan.
Sekolah Anda bukan hanya tempat belajar, tapi pusat perubahan.
Dan perubahan itu dimulai dari keputusan hari ini.