Pernahkah kita bertanya: visi sekolah yang kita canangkan setiap lima tahun itu benar-benar hidup, atau hanya jadi dokumen untuk akreditasi?
Pertanyaan ini penting, karena sekolah bukan sekadar institusi pengajar, tapi lingkungan yang membentuk masa depan. Sayangnya, banyak sekolah masih berjalan di tempat—bukan karena kekurangan dana, tapi karena kekosongan arah. Visi itu ada, tapi tidak menggerakkan.
Padahal jika dimaknai dengan benar, visi adalah fondasi strategis. Visi yang kuat mengarahkan kebijakan, menginspirasi budaya kerja, bahkan bisa membuka jejaring kolaborasi baru. Tapi tentu saja, semua itu hanya bisa terjadi bila kepala sekolah mengambil peran sebagai arsitek masa depan sekolah.
Banyak kepala sekolah mengira menyusun visi adalah tugas formalitas. Padahal di era transformasi digital dan program sekolah gratis, visi harus dirancang agar bisa:
Kepala sekolah memang pemimpin strategis, tapi tanpa dukungan Ketua Yayasan atau Kepala Dinas, gagasan besar akan mentok di ruang rapat. Maka penting membangun kesadaran bersama, bahwa visi bukan hanya milik kepala sekolah—tapi milik seluruh ekosistem pendidikan.
Banyak sekolah berhasil berubah bukan karena fasilitas, tapi karena kejelasan arah dan keteguhan dalam menjalankan visi. Ada sekolah swasta kecil di Jogja yang dalam waktu tiga tahun bisa mandiri finansial dan dikenal luas karena visinya diturunkan ke sistem, budaya kerja, dan cara berjejaring.
Mereka tidak sekadar menuliskan visi, tapi mewujudkannya dengan kolaborasi dan teknologi.
Kalau saat ini sekolah Anda belum punya arah jelas, jangan tunggu perubahan kurikulum untuk bertindak. Buatlah perubahan itu dari visi sekolah Anda sendiri. Jadilah kepala sekolah yang tidak hanya mengelola, tapi membangun masa depan.
Sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi tempat mempersiapkan masa depan bangsa. Dan masa depan itu dimulai dari kepala sekolah yang berani bermimpi dan menyusun peta jalan menuju impian itu.