Suatu pagi, Bu Indah—guru bahasa Indonesia di sebuah SMP—berdiri di depan cermin, mengulas sedikit lipstik di bibir. Tapi di matanya tak ada semangat. Sudah seminggu ini ia merasa seperti robot. Masuk kelas, menyampaikan materi, pulang. Dulu, ia bisa tertawa lepas bersama murid-murid saat diskusi. Sekarang? Semua terasa mekanis. Kaku. Hambar.
Apa yang berubah?
Di ruang kepala sekolah, Pak Hartono sedang sibuk menyusun target kinerja. “Rapor digital harus selesai minggu ini. Sertifikasi harus beres bulan ini. Absensi harus rapi!” Begitu katanya pada rapat staf.
Tak satu pun kalimat yang menyebut rasa. Tak satu pun pertanyaan: “Apa kabar kalian hari ini?”
Padahal, dulu Pak Hartono dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan guru. Ia mendengar. Ia mendampingi. Tapi sejak sistem digital masuk, ia merasa terjebak dalam dashboard dan deadline. Ia lupa bahwa guru bukanlah mesin.
Saat itulah ia membaca ulang satu jurnal yang dulu sempat ia diskusikan di forum kepala sekolah: The Paradoxical Relationship between Principals’ Transformational Leadership Styles and Teachers’ Motivation oleh Adarkwah & Zeyuan.
Ia tercenung saat membaca kalimat: “Kepemimpinan yang manipulatif, sekalipun transformatif secara teknis, bisa menghancurkan motivasi guru bila tidak dibangun dari keaslian dan kolaborasi.”
Seketika ia sadar. Sekolahnya berubah. Ia sendiri berubah. Tapi bukan menuju arah yang ia impikan.
Besoknya, Pak Hartono mengumpulkan tim. Kali ini ia tidak bicara target. Ia bertanya, “Apa yang paling membuat kalian merasa dihargai di sekolah ini?”
Dan pelan-pelan, suasana berubah.
Ia membuka akses pada sistem informasi sekolah yang bisa dikustom agar user experience-nya ramah untuk guru. Ia menata ulang manajemen sekolah digital agar tak sekadar pelaporan, tapi ruang kolaborasi. Guru diminta memberi masukan aktif dalam desain aplikasi sekolah terintegrasi agar administrasi tidak lagi menggerus waktu mengajar mereka.
Lalu ia buka forum rutin dengan para guru. Bukan sekadar Rapat Dinas. Tapi Dialog Perasaan.
“Bu Indah, apa yang bikin Ibu ingin terus mengajar?”
Dan Bu Indah menjawab dengan mata berbinar, “Saya ingin murid-murid mencintai bahasa… bukan sekadar lulus ujian.”
Jawaban itu seperti nyala kecil yang lama padam.
Sejak saat itu, ia mendorong Bu Indah menulis blog pengajaran, mengisi podcast sekolah, hingga tampil di webinar nasional. Di balik itu, sistem administrasi sekolah online membantu Bu Indah bebas dari tumpukan laporan manual.
Hari Kebaya Nasional pun tiba. Bu Indah mengenakan kebaya encim merah kesukaannya, tampil dalam video kampanye literasi sekolah bersama siswanya.
Pak Hartono berdiri di belakang layar, tersenyum bangga. Ia sadar, kebaya bukan hanya lambang budaya. Tapi simbol bahwa setiap orang—seperti juga guru—memiliki gaya, martabat, dan keindahan sendiri yang perlu dihidupkan, bukan dikekang.
Sekolah bukan pabrik. Guru bukan mesin.
Transformasi sekolah digital harus berjalan berdampingan dengan transformasi kepemimpinan. Dan itu dimulai dari kepala sekolah yang berani melihat guru bukan sebagai pelaksana, tapi mitra tumbuh.
Seperti halnya software sekolah 4.0 dan sekolah gratis, transformasi ini bukan soal teknologi semata, tapi keberanian untuk menciptakan ruang belajar yang manusiawi, strategis, dan berkelanjutan.