Pagi itu, udara di pekarangan SD Nusantara 3 masih sejuk. Burung-burung belum selesai berkicau saat Pak Adi, kepala sekolah, sudah berdiri di depan gerbang. Bukan untuk inspeksi atau pencitraan. Tapi untuk menyapa. Menyambut satu per satu murid dan guru yang datang, sambil sesekali menanyakan kabar.
“Bu Rina, gimana kabar ibu mertuanya yang kemarin sakit?”
“Mas Adit, PR anak-anak kelas 5 sudah oke semua ya? Santai, kita bareng-bareng bimbing.”
Tidak ada basa-basi yang dibuat-buat. Semua terasa tulus dan alami. Bukan karena Pak Adi sedang memburu nilai kinerja atau ingin jadi viral di media sosial sekolah. Tapi karena ia percaya: pemimpin yang hadir dari hati akan menyentuh hati.
Guru-guru di sekolah itu tahu, mereka sedang dipimpin oleh seseorang yang bukan cuma ‘bos’, tapi rekan seperjuangan. Pak Adi tidak selalu tahu jawabannya. Tapi ia tahu bagaimana mendengarkan. Ia tahu bagaimana memunculkan potensi orang lain, tanpa perlu merasa menjadi pusat segalanya.
Dampaknya? Luar biasa. Guru-guru jadi lebih percaya diri mencoba hal baru. Bu Rina yang dulu takut bicara di depan forum, kini rutin berbagi praktik baik lewat webinar. Mas Adit yang tadinya sering diam saja, kini memimpin komunitas literasi siswa. Semua bermula dari satu hal: kepercayaan.
Riset Adarkwah dan Zeyuan (2020) menyebut bahwa kepemimpinan transformasional yang manipulatif justru menurunkan motivasi guru. Sebaliknya, kepala sekolah yang autentik menciptakan atmosfer yang memerdekakan. Dan itulah yang dilakukan Pak Adi. Ia tidak mencetak robot—tapi menyalakan semangat manusia.
Di tengah tantangan digital, Pak Adi tak menutup mata. Ia bersama yayasan mengadopsi sistem manajemen sekolah digital dan aplikasi sekolah terintegrasi yang disediakan oleh Kamadeva. Bukan sekadar ikut tren, tapi karena ia paham: efisiensi administratif memberi ruang lebih bagi guru untuk berinovasi.
Tiap minggu, Pak Adi mengajak guru-guru refleksi bareng. Bukan untuk menegur, tapi untuk memahami. Ia juga mengusulkan penggunaan software sekolah 4.0 agar guru tidak pusing dengan urusan nilai dan laporan manual. Ia ingin guru-gurunya fokus pada hal yang lebih penting: menginspirasi murid.
Bahkan sistem administrasi sekolah online pun dilibatkan, agar semua urusan operasional bisa transparan, akuntabel, dan… manusiawi.
Kini SD Nusantara 3 bukan cuma tempat belajar, tapi tempat bertumbuh. Sebuah ekosistem yang diciptakan oleh pemimpin yang mau jujur pada dirinya sendiri. Yang tidak merasa harus selalu benar, tapi selalu ingin jadi lebih baik.
Karena sekolah bukan cuma soal kurikulum dan target. Tapi tentang manusia yang menyalakan cahaya satu sama lain.
Kalau Anda kepala sekolah, pertanyaannya bukan “Sudah sejauh mana guru saya termotivasi?”
Tapi…
“Apakah saya sudah memimpin dengan hati yang terbuka?”