Ketika dunia otomotif sedang “masuk angin” dan penjualan mobil di Indonesia mengalami penurunan tajam, Mitsubishi justru memilih strategi agresif: merilis produk baru dan menggempur pasar ekspor. (CNBC Indonesia, 2025). Ini jadi pengingat penting: saat kondisi tidak ideal, justru inovasi dan strategi cerdaslah yang menyelamatkan.
Hal serupa berlaku di dunia pendidikan. Sekolah tidak boleh stagnan hanya karena dana minim atau regulasi ketat. Justru di tengah tantangan, pemimpin sekolah perlu tampil sebagai “game changer” yang menghidupkan kembali semangat belajar. Kuncinya ada pada kepemimpinan strategis—bukan sekadar administrasi.
Menurut riset Strategic Leadership of School Principals in Enhancing Educational Quality dari Norman et al. (2025), sekolah yang unggul selalu punya satu pola yang sama: kepala sekolahnya menjalankan peran strategis, bukan hanya teknis. Dalam konsep School CEO, ini dikenal sebagai pilar Transformational Leadership—yakni kepemimpinan yang menginspirasi dan mampu membentuk budaya belajar yang dinamis.
Tapi bagaimana caranya? Pertama, mulai dari membangun lingkungan yang inklusif dan menyenangkan. Kepala sekolah bisa menjadi pusat semangat di sekolah—bukan hanya sekadar simbol birokrasi. Ketika guru merasa didengar, siswa merasa dihargai, dan orang tua diajak terlibat, energi belajar akan mengalir tanpa dipaksa. Itulah kekuatan dari Stakeholder Collaboration.
Kedua, manfaatkan sumber daya yang ada dengan lebih kreatif. Jangan terpaku pada BOS atau dana hibah. Justru saat keterbatasan, kepala sekolah bisa menunjukkan kualitas sebagai inovator. Misalnya, membangun sistem informasi sekolah yang terintegrasi bisa memangkas beban administratif dan mempercepat pengambilan keputusan. Di sinilah peran penting sistem informasi sekolah, manajemen sekolah digital, dan software sekolah 4.0 yang efisien dan andal.
Tak hanya itu, pemanfaatan aplikasi sekolah terintegrasi juga membuka peluang kolaborasi dengan orang tua dan komunitas. Sekolah jadi lebih transparan, modern, dan dipercaya. Bahkan untuk tata kelola harian pun bisa dilakukan dengan administrasi sekolah online—cepat, mudah, dan akuntabel.
Langkah-langkah ini membentuk ekosistem belajar yang “hidup”—bukan yang berjalan karena rutinitas, tapi yang tumbuh karena energi kolektif. Dan jangan lupa, sekolah yang berani melangkah ke era digital akan punya nilai tambah jangka panjang, seperti visi besar menuju sekolah gratis—di mana efisiensi operasional membuka jalan untuk pendidikan yang lebih inklusif.
Karena pada akhirnya, sekolah bukan soal bangunan atau kurikulum semata. Ia adalah ekosistem yang harus terus diperbarui, dipicu oleh pemimpin yang berani, strategis, dan berjiwa kolaboratif. Seperti Mitsubishi yang tidak menyerah saat pasar lesu, sekolah pun bisa bangkit dan menyalakan kembali semangat belajar. Semua dimulai dari kepala sekolahnya.