Di sebuah kota kecil, Pak Rendra dikenal sebagai kepala sekolah yang sangat disiplin. Ia datang paling pagi, pulang paling malam. Semua urusan sekolah—dari absensi guru, pengajuan BOS, hingga konflik wali murid—selalu ia tangani sendiri. Ia merasa bangga, sampai suatu hari tubuhnya tak kuat lagi. Dirawat karena kelelahan akut, baru saat itu ia bertanya pada dirinya sendiri: “Apa arti pemimpin jika semuanya ditanggung sendiri?”
Di ruang perawatan rumah sakit itulah Pak Rendra memulai transformasinya. Ia membaca artikel tentang konsep School CEO, lalu menemukan hasil riset dari Norman et al. (2025) tentang strategic leadership. Dalam riset itu dijelaskan bahwa kepala sekolah yang berhasil meningkatkan mutu pendidikan bukanlah mereka yang bekerja sendiri, melainkan yang memimpin dalam kolaborasi.
Pak Rendra pun tersentak: sekolah ini bukan panggung satu orang. Ia sadar, ia perlu tim. Ia butuh kolaborator.
Saat kembali ke sekolah, Pak Rendra mulai mengubah pendekatannya. Ia tidak lagi memberi perintah satu arah. Ia mulai membentuk tim penggerak inovasi, melibatkan guru, TU, komite sekolah, dan bahkan beberapa alumni.
Dengan semangat baru, mereka mulai mendigitalkan administrasi menggunakan sistem informasi sekolah. Guru-guru dilatih mengakses data siswa melalui aplikasi sekolah terintegrasi. Semua berjalan tertatih di awal, tapi pelan-pelan menjadi budaya.
Ia juga mulai menggagas cara-cara cerdas untuk menciptakan resource innovation. Sekolah menjalin kerja sama dengan koperasi lokal, membuka ruang iklan di dashboard aplikasi, dan memanfaatkan software sekolah 4.0 untuk memperluas layanan digital yang bisa disinergikan dengan program CSR mitra sekitar.
Pak Rendra dulu mengira digitalisasi hanya beban tambahan. Tapi kini ia justru melihatnya sebagai aset jangka panjang. Dengan manajemen sekolah digital, seluruh stakeholder—guru, murid, yayasan, hingga dinas—bisa terhubung dan mengambil keputusan berbasis data yang sama.
Data bukan lagi sekadar laporan, tapi sumber pengambilan keputusan. Sekolah bukan lagi tempat administrasi dipenuhi lemari, tapi ruang kolaborasi yang saling menyambungkan peran.
Yang lebih mengharukan, perubahan ini tak berhenti di internal sekolah. Ketua Yayasan yang sebelumnya hanya pasif, mulai aktif memberikan dukungan anggaran untuk pelatihan tim guru. Dinas pendidikan pun merekomendasikan sekolah Pak Rendra untuk jadi pilot project administrasi sekolah online.
Sekolah kecil yang dulu hanya dikenal karena letaknya, kini mulai jadi rujukan karena semangat kolaboratif dan teknologinya. Semua berawal dari keberanian satu kepala sekolah untuk tidak lagi berdiri sendirian.
Kisah Pak Rendra bukan satu-satunya. Di banyak sekolah, kita butuh lebih banyak kepala sekolah seperti dia—yang mau keluar dari pola lama, dan berani mengajak semua pihak duduk bersama.
Sekolah bukan milik satu orang. Tapi milik bersama. Dan hanya bisa tumbuh bersama.
Jadi, jika hari ini Mas dan Mbak Kepala Sekolah masih merasa harus menanggung segalanya sendiri, mungkin ini saatnya bertanya seperti Pak Rendra dulu: “Apakah saya memimpin, atau sekadar menanggung beban?”
Dan jika jawabannya adalah ingin memimpin lebih bijak, mulailah bangun ekosistem digital, latih tim, buka ruang kolaborasi. Manfaatkan sekolah gratis dan layanan berbasis software sekolah 4.0 agar tidak merasa sendiri. Karena zaman sudah berubah. Sekarang bukan waktunya menjadi pahlawan tunggal, tapi bagian dari orkestra kepemimpinan yang harmonis.