Waktu menunjukkan pukul 06.45 ketika Bu Diah masuk ke ruang guru. Tangannya menggenggam segelas kopi hitam, matanya sembab, tapi masih menyunggingkan senyum. Di meja kerjanya, sudah menumpuk modul pelatihan digital yang belum sempat dia tinjau. “Katanya besok mau pakai software baru lagi,” bisik hatinya. Ini hari Senin, tapi semangatnya seperti Jumat sore.
Sudah dua tahun Bu Diah mengajar di sekolah ini. Gajinya tak besar, fasilitas kadang terbatas, dan pekerjaan administratif seperti tak ada habisnya. Tapi satu hal yang membuatnya bertahan: rasa dimiliki.
Dulu, ketika pertama kali bergabung, ia merasa seperti tenaga pengganti. Semua kebijakan datang dari atas. Rapat hanya sekadar formalitas. Tapi itu berubah sejak kepala sekolah baru datang—Pak Agung, seorang pemimpin dengan cara pandang berbeda. Ia menyebut dirinya bukan hanya kepala sekolah, tapi School CEO.
Suatu pagi, Pak Agung memanggil seluruh guru. Tapi bukan untuk rapat instruksi, melainkan sesi refleksi. Di dinding, ia tempelkan tiga kata besar: Visioning, Decision Making, Stakeholder Collaboration. “Saya tidak ingin sekolah ini hanya punya murid yang cerdas, tapi guru yang bahagia,” ujarnya.
Hari itu menjadi titik balik. Bu Diah diundang menyumbang ide program literasi komunitas. Ia tak lagi hanya menjalankan, tapi ikut mencipta. Sejak itu, ia merasakan atmosfer ruang guru berubah—lebih hidup, lebih manusiawi.
Tentu, tidak semua hal berjalan mulus. Ada ketegangan, ada perbedaan pendapat. Tapi ruang itu menjadi tempat bertumbuh, bukan bertahan. Pak Agung membuka jalan teknologi yang mendukung guru, bukan menyusahkan.
Dengan penerapan sistem informasi sekolah dan manajemen sekolah digital, laporan dan jadwal jadi lebih terintegrasi. Guru tak lagi menghabiskan malam hanya untuk isi absen digital. Aplikasi seperti aplikasi sekolah terintegrasi dan administrasi sekolah online benar-benar menyelamatkan waktu.
“Kalau bukan karena leadership-nya Pak Agung dan sistem seperti ini, mungkin saya sudah cari sekolah lain,” kata Bu Diah suatu ketika pada rekan gurunya. Bukan karena sekolah ini sempurna, tapi karena ia merasa dihargai. Dimiliki.
Di sudut lain kota, sekolah-sekolah masih berjuang dengan hal serupa. Tapi bagi Bu Diah dan rekan-rekannya, mereka telah menemukan jawabannya: bukan gaji besar yang membuat guru bertahan, melainkan tempat yang menjadikan mereka bagian penting dari cerita.
Kini, ruang guru tak lagi sepi. Ada canda, ada ide, ada kolaborasi. Semua dimulai dari satu hal sederhana: pemimpin yang melihat guru sebagai manusia, bukan mesin. Dan ketika iklim seperti ini ditopang oleh teknologi cerdas seperti software sekolah 4.0, maka lahirlah sekolah yang tidak hanya bertahan, tapi berkembang bersama.
Untuk sekolah yang ingin mulai dari awal tanpa biaya tinggi, sekolah gratis dari Kamadeva bisa jadi awal cerita seperti Bu Diah. Karena guru tak minta banyak, mereka hanya ingin merasa berarti.