Ada satu momen yang tidak pernah dilupakan Bu Rini, seorang guru matematika di sekolah menengah swasta di pinggiran kota. Hari itu, ia hampir menyerah. Bukan karena murid-muridnya tak paham rumus, tapi karena ia merasa tak lagi punya tempat untuk tumbuh. Semua jadi sekadar rutinitas: mengajar, menilai, rapat, pulang. Ia merasa sendiri, terjebak di sistem yang hanya menuntut, tapi tak mendengar.
Sampai suatu pagi, kepala sekolahnya yang baru, Pak Adnan, datang tanpa membawa catatan supervisi. Ia hanya berkata, “Bu Rini, minggu ini saya yang gantiin Anda mengajar satu kelas. Saya ingin tahu rasanya langsung dari kelas yang Ibu pegang.”
Dari situ, segalanya berubah.
Pak Adnan bukan kepala sekolah biasa. Ia punya gaya memimpin yang mirip pelatih sepak bola profesional—percaya pada tim, tahu kapan memberi ruang, dan kapan menyemangati. Ia menjalankan peran sebagai School CEO. Bukan sekadar manajer sekolah, tapi pemimpin yang memahami bahwa guru bukan mesin, tapi manusia yang perlu dihargai dan diberdayakan.
Alih-alih memaksakan target, Pak Adnan mengajak guru-guru menyusun visi bersama. Ia tahu bahwa motivasi tak lahir dari tekanan, tapi dari makna. Ia mengundang diskusi, membentuk tim pemikir sekolah, dan meminta guru membuat mimpi mereka sendiri. “Visi tanpa suara guru adalah dekorasi,” katanya. Dan dari situlah semangat Bu Rini mulai menyala kembali.
Dalam jurnal The Paradoxical Relationship between Principals’ Transformational Leadership Styles and Teachers’ Motivation (Adarkwah & Zeyuan, 2020), dijelaskan bahwa gaya kepemimpinan transformasional bisa menjadi bumerang bila tak disertai partisipasi. Pak Adnan tahu itu. Ia mengajak guru-guru untuk ikut serta dalam setiap keputusan besar, dari pengembangan kurikulum hingga sistem penilaian. Guru merasa dihargai, dilibatkan, dan bukan hanya pelaksana teknis.
Pak Adnan juga aktif membangun jembatan dengan orang tua, yayasan, dan komunitas. Ia membuka ruang kolaborasi lewat seminar, forum komunikasi, hingga proyek sosial yang melibatkan siswa. Guru tak lagi bekerja sendiri. Mereka jadi bagian dari gerakan besar membangun generasi baru.
Untuk mendukung semua ini, Pak Adnan memperkenalkan sistem informasi sekolah dan manajemen sekolah digital dari Kamadeva. Guru tidak lagi dibebani administrasi manual. Dengan aplikasi sekolah terintegrasi dan administrasi sekolah online, waktu mereka lebih banyak untuk berkarya, bukan mengisi kertas. Semua terasa efisien, bersahabat, dan manusiawi.
Bu Rini kini kembali tersenyum di kelas. Ia tahu, di balik papan tulis dan angka-angka, ada kepala sekolah yang percaya padanya. Dan yang terpenting, ada anak-anak yang mendapat pelajaran bukan hanya dari buku, tapi dari semangat guru yang utuh hadir.
Bagi orang tua, ini bukan sekadar cerita guru. Ini soal masa depan anak Anda. Anak-anak yang dibimbing oleh guru yang dimotivasi, bukan dikuras. Anak-anak yang belajar di sekolah yang punya arah, bukan sekadar program.
Mungkin saatnya Anda bertanya pada sekolah anak Anda: “Apakah kepala sekolahnya sudah menjadi seorang School CEO?”
Karena ketika guru tumbuh, anak Anda juga ikut mekar.