Di tengah hiruk-pikuk politik yang memanas—seperti kasus vonis 3,5 tahun penjara terhadap Hasto Kristiyanto namun tetap dipertahankan sebagai Sekjen PDIP—kita diingatkan akan satu hal penting: loyalitas kadang tidak dibentuk oleh posisi, melainkan oleh rasa dihargai. Prinsip serupa juga berlaku dalam dunia pendidikan. Guru bukanlah mesin yang hanya digerakkan oleh gaji atau perintah. Mereka manusia yang tumbuh ketika kepemimpinan menyentuh sisi terdalam dari harga diri mereka.
Sebagai kepala sekolah, sudah saatnya kita meninjau ulang pendekatan kita dalam membangun semangat kerja para pendidik. Artikel ini mengajak Anda melihat motivasi bukan dari sudut “reward”, tapi dari akar yang lebih bermakna: kepemimpinan yang mengakui peran guru sebagai mitra tumbuh, bukan sekadar pelaksana.
Jurnal The Paradoxical Relationship between Principals’ Transformational Leadership Styles and Teachers’ Motivation (Adarkwah & Zeyuan, 2020) membuka mata kita tentang satu paradoks besar. Gaya kepemimpinan transformasional, yang seharusnya membangkitkan motivasi, justru bisa memunculkan tekanan jika dilakukan tanpa empati. Ketika kepala sekolah hanya menuntut “visi” dan “perubahan” tapi gagal menghadirkan ruang pengakuan yang otentik, guru merasa seperti alat.
Dalam konteks School CEO, kepemimpinan tidak hanya soal mendesain program. Ia mencakup visioning yang menginspirasi, decision making yang inklusif, dan stakeholder collaboration yang membangun rasa memiliki. Guru merasa dihargai ketika mereka dilibatkan, bukan hanya disuruh.
Banyak yang mengira bahwa motivasi guru harus ditumbuhkan lewat bonus atau insentif. Padahal, penghargaan nonmateri seperti kepercayaan, pengakuan, kesempatan berkembang, dan ruang refleksi terbuka jauh lebih membekas. Guru-guru yang diberi ruang untuk merancang pembelajaran, dipercaya untuk mengambil keputusan di kelas, atau sekadar diapresiasi atas inisiatif kecil mereka, akan menunjukkan semangat kerja yang melampaui ekspektasi.
Inilah yang dimaksud dengan kepemimpinan transformatif yang bukan manipulatif. Ia menggerakkan dengan makna, bukan dengan ketakutan atau iming-iming semu.
Transformasi pendidikan hari ini tidak cukup hanya dengan menerapkan sistem informasi sekolah atau manajemen sekolah digital. Inovasi digital seperti aplikasi sekolah terintegrasi, software sekolah 4.0, dan administrasi sekolah online tentu membantu efisiensi. Tapi tak kalah penting, transformasi hubungan antara pemimpin dan guru juga harus dibangun. Tanpa relasi yang hangat, sistem digital hanya menjadi formalitas dingin.
Kepemimpinan yang kuat adalah yang menciptakan sistem dan suasana. Keduanya harus hadir bersama.
Di banyak sekolah, suasana kerja sangat bergantung pada kepala sekolah. Apakah ia mendengarkan guru? Apakah ia hadir saat guru butuh dukungan? Apakah ia memberi ruang tumbuh, atau justru menekan dengan birokrasi? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini akan mencerminkan kadar motivasi para guru.
Mengelola manusia bukan tentang prosedur, melainkan seni. Seni mendengarkan, menghargai, dan membangun ikatan emosional yang sehat.
Dalam situasi di mana banyak sekolah kini mengadopsi model sekolah gratis, kebutuhan akan kepemimpinan yang menghargai guru menjadi sangat vital. Ketika insentif materi terbatas, maka strategi memotivasi guru harus bersumber dari kualitas kepemimpinan dan iklim kolaboratif.
Sudah waktunya kepala sekolah tidak hanya menjadi administrator, tetapi menjadi pemimpin manusia. Pemimpin yang tahu bahwa motivasi adalah cermin dari rasa dihargai. Dan penghargaan sejati bukan selalu berupa uang, melainkan pengakuan bahwa peran guru adalah roh dari perubahan.
Jangan hanya transformasikan sekolahmu dengan perangkat seperti administrasi sekolah online atau software sekolah 4.0—transformasilah juga cara pandangmu terhadap mereka yang setiap hari menyalakan cahaya di ruang kelas. Hargai mereka, dan lihat bagaimana sekolahmu menyala dengan sendirinya.