“Andai saja waktu itu saya lebih cepat mengambil keputusan, sekolah kami tidak perlu merger dan kehilangan identitas,” ucap Bu Rini, Ketua Yayasan Cahaya Bangsa, sambil memandangi gedung tua yang kini hanya menyisakan papan nama. Tahun 2029, dan sekolah yang pernah dia banggakan, kini hanya jadi bagian kecil dari jaringan sekolah besar yang mengambil alih karena efisiensi digital.
Cerita Bu Rini bukan satu-satunya. Banyak sekolah swasta yang runtuh perlahan setelah keputusan Mahkamah Konstitusi melarang pungutan kepada orang tua murid pada era sekolah gratis. Bukan karena mereka tak peduli, tapi karena mereka terlambat membaca arah zaman. Teknologi bukan lagi pelengkap, tapi fondasi utama.
Lima tahun sebelumnya, tawaran untuk menggunakan Sistem Informasi Sekolah atau SISKO Whitelabel sudah datang ke Bu Rini. Platform ini menawarkan ekosistem digital lengkap—mulai dari manajemen sekolah digital, administrasi sekolah online, sampai fitur fundraising legal dan transparan.
“Waktu itu saya pikir belum perlu, toh sekolah kami masih bisa berjalan normal,” kenang Bu Rini. Padahal, sekolah-sekolah lain yang lebih kecil justru sudah mulai mengadopsi software sekolah 4.0, bahkan ada yang sudah menggunakan fitur digital branding untuk menjangkau sponsor dan donatur.
Tekanan makin tinggi saat pandemi digital menghantam sistem pendidikan Indonesia di 2027. Banyak guru pindah ke platform pembelajaran daring, dan orang tua memilih sekolah yang mampu menunjukkan transparansi dan akuntabilitas dalam operasionalnya. Tanpa aplikasi sekolah terintegrasi, Bu Rini kehilangan data, kendali, bahkan kepercayaan.
Yang paling menyakitkan, murid-muridnya dipindahkan ke sekolah lain oleh orang tua mereka. Bukan karena kualitas pengajaran buruk, tapi karena orang tua tidak bisa mengakses informasi dasar seperti progres anak, agenda harian, bahkan laporan keuangan sekolah. Semua yang bisa ditampilkan dengan dashboard SISKO.
Kini, di 2029, SISKO bukan hanya sistem, tapi menjadi gerakan—gerakan menyelamatkan sekolah swasta di era pendidikan gratis. Mereka yang bergabung sejak 2024 punya cerita yang berbeda. Ada yang mampu bertahan dengan modal donasi digital. Ada yang berkembang karena kemitraan brand yang masuk melalui SISKO Marketplace. Ada pula yang justru menambah cabang karena efisiensi manajemen meningkat drastis.
“Kami tidak hanya membeli sistem. Kami membeli masa depan,” kata salah satu Kepala Sekolah peserta SISKO Edupreneur Fest 2029.
Bila Anda membaca ini dan masih ragu, tanyakan pada diri Anda: Apakah saya ingin menjadi bagian dari perubahan, atau menyesal seperti Bu Rini lima tahun dari sekarang?
Di era ketika TikTok Shop saja bisa merumahkan ratusan karyawan karena tidak bisa beradaptasi, apalagi sekolah yang terus menggunakan cara lama dalam mengelola institusi?
Jangan tunggu semuanya terlambat. Jadilah pemimpin pendidikan yang visioner. Mulailah langkah hari ini bersama SISKO Whitelabel—karena masa depan sekolah Anda, ada di tangan Anda, bukan orang lain.