Di balik setiap perubahan regulasi pendidikan, sering kali muncul keresahan: “Apa lagi yang harus diubah sekarang?” Pertanyaan itu wajar. Tapi di antara daftar panjang perubahan administratif, ada satu hal yang tak pernah tercantum dalam SK—budaya sekolah yang hidup.
Regulasi bisa berganti dalam semalam. Tapi budaya? Ia dibangun perlahan, hari demi hari. Dan justru karena itulah, budaya sekolah yang adaptif menjadi kunci untuk memastikan perubahan bisa bertahan.
Bukan Masalah Regulasi, Tapi Reaksi Kita Terhadapnya
Gloria Sarasvati Anindya, Konsultan Pendidikan dari Kamadeva Coaching Academy, mengatakan, “Regulasi bukan musuh. Tapi jika sekolah hanya sibuk mengejar patuh, tanpa jiwa adaptif, maka semua perubahan hanya akan jadi beban baru.”
Menurutnya, sekolah yang punya budaya adaptif mampu menyerap regulasi seperti spons menyerap air. Fleksibel, tapi tidak kehilangan bentuk. Dinamis, tapi tetap punya arah.
Menghidupkan Budaya Adaptif: Praktik Nyata di Sekolah
Mindshift Kepala Sekolah: Dari Administrator ke Agen Budaya
Menjadi kepala sekolah di era ini bukan hanya soal menjalankan kurikulum dan mengisi laporan. Ini soal membentuk budaya. Membangun atmosfer yang membuat guru semangat belajar, siswa merasa dihargai, dan orang tua menjadi mitra sejajar.
“Kalau sekolah hanya menunggu perintah, maka ia akan selalu tertinggal. Tapi jika sekolah membentuk budaya inovatif, maka ia akan menjadi pionir perubahan,” tambah Gloria.
Kesimpulan: Budaya yang Bernapas, Sekolah yang Bertahan
Regulasi memang penting. Tapi regulasi hanyalah alat. Yang membuat pendidikan tumbuh bukanlah teks dalam dokumen, tapi napas kehidupan yang dibangun dalam budaya sekolah.
“Sekolah yang bertahan bukan yang paling patuh, tapi yang paling hidup.”
— Gloria Sarasvati Anindya, Konsultan Pendidikan dari Kamadeva Coaching Academy